Seturut rangkaian hasil buruk yang membuat
Andre Villas-Boas didepak pada 4 Maret, mungkin fans Chelsea yang paling
optimistis sekalipun tak akan menduga tim kesayangan mereka bakal
bangkit dengan instan, bahkan menatap leg II semi-final Liga Champions di markas Barcelona dengan membawa bekal keunggulan 1-0.
Chelsea menutup ruang gerak Barcelona dengan sangat efektif pada Rabu (18/4), dan kini mereka sedikit lebih di depan ketimbang sang juara bertahan untuk merebut satu tempat pada final di Munich, yang akan mengambil waktu sekitar dua bulan dan dua minggu setelah promosi Di Matteo ke kursi panas Stamford Bridge.
Sempat dipandang sebelah mata, ditambah beredarnya spekulasi yang menyebut Rafael Benitez dan bos Barca, Pep Guardiola, sebagai kandidat manajer Chelsea musim mendatang, Di Matteo kini bisa jadi justru menjadi favorit utama untuk menukangi tim secara permanen berkat kinerja hebatnya.
Potensi tiket final Liga Champions, satu tempat yang telah dipastikan di laga puncak Piala FA, dan kembali bersaing memperebutkan peringkat empat Premier League, catatan Blues di bawah sang Italiano terbilang eksepsional.
Skuad pun kembali mendapatkan kepercayaan diri. Sebelumnya Villas-Boas kerap menepikan para pemain yang tak masuk dalam rencana jangka panjangnya dari starting line-up, terkadang tanpa mempedulikan bahwa mereka menyuguhkan performa bagus saat memperoleh kans turun.
Sementara pemilihan tim oleh Di Matteo, notabene mantan asisten AVB, tergolong berani dan cerdas tanpa harus merasa terlalu terbebani oleh “proyek peremajaan” tersebut.
Pembekuan sejumlah pemain di era Villas-Boas kini berubah menjadi rotasi di bawah Di Matteo, dengan nama-nama seperti Salomon Kalou, Frank Lampard, serta John Obi Mikel kembali ke skuad secara reguler untuk turut berkontribusi bagi sukses tim belakangan ini.
Kalou melesakkan gol tandang nan vital di Benfica, Lampard merepotkan Scott Parker sebelum menyarangkan gol tendangan bebas indah dalam kemenangan Chelsea atas Tottenham di semi-final Piala FA, sementara Mikel dengan efektif meredam para master tiki-taka, Xavi dan Andres Iniesta, pada Rabu kemarin.
Kepiawaian Di Matteo dalam mengatur skuad juga telah membuahkan hasil positif. Di bawah Villas-Boas, Fernando Torres terus-terusan dipasang meski mengalami paceklik gol, sementara Didier Drogba jarang sekali dilirik sebagai starter.
Dengan keduanya kini dimainkan bergantian secara reguler oleh Di Matteo, dampaknya pun terlihat. Torres mulai menemukan kembali finishing touch-nya yang lama hllang, sedangkan Drogba, yang kontraknya bakal habis akhir musim ini, diberikan kesempatan untuk membuktikan kepantasan memperoleh perpanjangan, dan ia ternyata mampu tampil impresif.
Selama ditukangi AVB, pendekatan taktik yang naif dan cenderung ceroboh, khususnya di sektor belakang, seolah menjadi trademark Chelsea.
Garis pertahanan yang tinggi dan kebebasan David Luiz untuk membawa bola dari belakang kerap meninggalkan lubang yang menganga lebar, dan contoh terbaik bagaimana tim lawan dapat mengeksploitasi kelemahan ini adalah ketika Chelsea melawat ke Old Trafford, di mana Manchester United melesakkan tiga gol untuk memberikan kekalahan perdana di Inggris bagi sang bos muda asal Portugal.
Sekarang, pendekatan yang lebih hati-hati dan transformasi Luiz menjadi bek bertipe “jika ragu, buang saja bolanya” membuat Blues yang semula gamang menjadi jauh lebih solid, dan ini turut membangun fondasi terciptanya kekuatan di lini depan.
Sebelumnya, Chelsea yang dominan secara fisik dengan kekuatan eksplosif terkekang karena skema yang kaku, dan seringkali hanya bersandar pada keluwesan Juan Mata, sedangkan lini tengah yang memainkan tempo lambat membuat tim gagal mengeksploitasi pertahanan lawan yang cepat menutup ruang.
Kini, dengan Mata berpindah ke sisi sayap dalam formula 4-3-3 yang telah teruji, The Pensioners dapat lebih memaksimalkan kemampuan Drogba atau Torres dalam merobek jala lawan maupun sebagai pembuka ruang.
Perubahan ini pun terbukti bekerja dengan baik. Setelah hanya menang lima kali dalam 13 laga terakhir bersama Villas-Boas, Chelsea kini sukses mengepak 10 kemenangan dalam jumlah gim yang sama di bawah kepemimpinan Di Matteo sejauh ini. Periode buruk pun dienyahkan, berganti dengan positivitas dan kepercayaan diri yang kini mengalir.
Setelah kemenangan atas Barcelona, sang bos interim berkata begini kepada ITV: “Saya pikir kelompok pemain ini pada malam ini telah menunjukkan sekali lagi determinasi dan keberanian mereka.” Padalah ini adalah kelompok pemain yang sama yang diakui oleh Villas-Boas tak perlu mendukungnya bila mereka tak mau. Sungguh kontras.
Sinyal Di Matteo sebagai seorang manajer yang mampu mengembalikan atmosfer positif di Bridge sudah kentara dengan selebrasi hebohnya melompat ke pelukan John Terry setelah Chelsea sukses menang 4-1 atas Napoli, hasil yang membalikkan defisit agregat 3-1 saat mereka takluk di San Paolo -- salah satu performa terburuk tim di bawah AVB, untuk lolos ke delapan besar UCL.
Catatan tim di tangan Di Matteo pun seolah mengantar para True Blue-ers kembali pada memori sukses di bawah caretaker terakhir, Guus Hiddink, tiga tahun lalu.
Menggantikan Luiz Felipe Scolari, pelatih asal Brasil bergaji tinggi, Hiddink mampu membawa The Blues memenangi Piala FA dan melaju hingga semi-final Liga Champions, kendati harus tersingkir oleh Barca.
Apabila Di Matteo dapat melaju selangkah lebih baik ketimbang sang pelatih asal Belanda, Roman Abramovich, yang tampak tersenyum puas usai Blues mengalahkan Barca, tentu wajib mempertimbangkan untuk mempekerjakannya lebih dari sekadar seorang caretaker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar